Oleh: M. Reza
Ketua Umum PB-FORMMALUT (Forum Mahasiswa Maluku Utara-Jabodetabek)
ST - Ditengah gejolak arah kebijakan nasional Indonesia hari ini, patut kiranya kita menengok kembali karya monumental John Perkins, Confessions of an Economic Hitman. Perkins, mantan “economic hitman” (EHM), mengakui bahwa dirinya dulu menjadi alat kekuasaan negara adikuasa terutama Amerika Serikat dalam menundukkan negara-negara berkembang melalui utang, proyek pembangunan raksasa & manipulasi ekonomi, tanpa mengangkat senjata.
Skema ini disebut Perkins sebagai bentuk imperialisme modern, di mana bangsa dijerat bukan dengan tank dan peluru, tetapi dengan angka-angka manis dalam proposal investasi & proyeksi pembangunan yg dilebih-lebihkan. Begitu negara target gagal bayar, maka satu per satu sumber daya strategisnya digadaikan, tambang, hutan, tanah, hingga kedaulatan.
Jokowi, Hilirisasi & Sentralisasi Kebijakan
Dalam konteks Indonesia terkini, apa yang diungkap Perkins tak lagi fiksi. Pemerintahan Mantan Presiden Joko Widodo mengubah arah kebijakan dengan dalih hilirisasi industri khususnya nikel melalui instrumen sentralistik kebijakan Nasional seperti UU Omnibus Law. Dengan semangat industrialisasi nasional, pembangunan dipusatkan dalam tangan segelintir pemegang otoritas. Namun, siapa yang sesungguhnya diuntungkan.?
Dalam hipotesa saya, skema hilirisasi nikel sejatinya adalah kebijakan pintu masuk dominasi modal asing, yang dikemas dengan bahasa nasionalisme ekonomi. Seperti pola yang digambarkan Perkins, proyek-proyek besar dijual dengan janji kesejahteraan, padahal di balik itu tersimpan jebakan utang, eksploitasi sumber daya, & tekanan geopolitik.
Mati tengok, Rempang, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, hingga Raja Ampat yang menjadi salsatu destinasi wisata terbaik di Indonesia timur, semuanya kini berada dalam kepungan radar korporasi ekstraktif.
Tanah-tanah adat & ruang hidup masyarakat terpinggirkan demi ambisi investasi yang pada akhirnya menyuburkan ketimpangan.
Ketergantungan Utang: Jalan Sunyi Menuju Penjajahan Gaya Baru
Kondisi fiskal Indonesia makin mengkhawatirkan dengan banyaknya utang. Ketergantungan terhadap utang luar negeri baik dari lembaga keuangan global maupun kekuatan bilateral seperti Tiongkok & AS membuat negara tak lagi bebas menentukan arah pembangunan. Di sinilah kita menyaksikan bahwa kata “Berdikari” hanya tinggal jargon, tanpa daya realisasi.
Utang menjadi senjata, sebagaimana dikatakan Perkins, yang membuat negara-negara seperti Indonesia tunduk pada kebijakan ekonomi & politik pihak pemberi pinjaman. Hipotesa kami Konsesi tambang, hak eksplorasi, bahkan kerja sama keamanan kini tak bisa dilepaskan dari faktor kompensasi atas beban utang.
Negara Dijadikan Laboratorium, Rakyat Jadi Kelinci Percobaan
Contoh mutakhir lainnya adalah proyek vaksinasi & intervensi kesehatan publik. Tawaran vaksin TBC dari Bill Gates & mitra-mitranya, misalnya, bisa dibaca sebagai strategi soft power Barat yang mana patut diduga menggunakan instrumen bantuan kesehatan untuk mengunci pengaruh geopolitik. Bukankah ini cerminan bahwa rakyat perlahan dijadikan kelinci percobaan atas kompromi elite.?
Hipotesisnya sederhana, ada nilai tawar di balik skema utang, dan sebagai kompensasi, kekuatan global menekan negara penerima agar membuka ruang bisnis & akses pengaruh seluas-luasnya.
Koperasi Merah Putih: Solusi Nasionalis atau Jebakan Baru.?
Program seperti Koperasi Merah Putih pun patut dikritisi. Meskipun mengusung semangat anak bangsa, pengajuan dana Rp3 miliar sebagai utang jelas mengandung risiko jebakan politik terutama menjelang momentum elektoral. Potensi kriminalisasi kepala desa sebagai "tumbal" politik tidak bisa dikesampingkan. Lebih ideal bila fokus diarahkan pada penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang lebih berbasis kerakyatan.
Sadar atau Tertindas
Sebagaimana ditulis Perkins, penjajahan gaya baru tidak terasa di awal. Ia datang dengan senyum investasi, proposal infrastruktur, & mimpi kemajuan. Tapi lama-lama, kita tersandera, tergadai, dan terlindas dalam skema global yg dirancang untuk satu hal, dominasi.
Selama Indonesia tidak sungguh-sungguh berdikari, maka tidak akan pernah ada yang namanya kedigjayaan nasional. Kita hanya akan menjadi penonton, di tanah sendiri, menyaksikan sumber daya kita dijarah atas nama pembangunan & kesejateraan.