Oleh: Chapy Kamaria Soma
Sofifi, ST - Ahir-ahir ini kita menyaksikan banyak perdebatan soal ajaran Tuhan tentang pemimpin (bukan kepemimpinan), dan tentunya perdebatan itu sekaligus akan menjadi edukasi politik bagi semua kalangan termasuk generasi muda, bahkan anak usia sekolah.
Sayangnya perdebatan tersebut hanya berkuat pada upaya saling menjegal, kita memaklumi keterbatasan ini, mungkin karena ini wilayah pertarungan kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan, yang di dalamnya akan cukup tersedia uang dan jabatan.
Dalam konteks edukasi, Diskusi dan perdebatan di ruang publik yang menyeret Firman Tuhan, sejatinya harus kita lakukan secara tuntas, tidak terbatas pada 1 atau 2 ayat Tuhan yang kemudian direduksi sedemikian rupa hingga menggunakan diksi dan narasi yang berpotensi provokatif dan penuh kebencian.
Dalam ruang ini pula seharusnya secara fair dan bijak dimanfaatkan untuk mendidik publik agar mengetahui dan memahami ajaran Tuhan tentang secara menyeluruh, misalnya tentang larangan berbuat dzolim, larangan bertindak korupsi, larangan mengadu domba, larangan memfitnah, perintah berbuat adil, perintah untuk menjaga martabat manusia dan lain sebagainya.
Rasa-rasanya tidak adil dan syarat dengan kepentingan sesaat sehingga kemudian diskursus di ruang publik ahir-ahir ini hanya dibatasi pada firman Tuhan tertentu saja untuk menghantam kelompok yang dianggap berbeda dan tak sepaham, dan yang muncul di permukaan adalaha politisasi (Agama).
Beragam tafsir atas ayat ayat suci dipublikasi sedemikian masif, dipakai oknum untuk mengcounter lawan politik, dan menjadi konsumsi semua kalangan, tak terkecuali anak anak usia sekolah, tidak salah, tapi juga tidak semuanya benar, “pertengkaran” antar kelompok tentang Surah almaidah ayat 51 dapat menguatkan truts claim dalam beragama (Akidah) disatu sisi.
Tapi disisi lain masyarakat akan sangat rapuh dalm bernegara. Konsep bernegara dan beragama mestinya saling menguatkan, aktifitas keduanya meskipun memiliki basis dalil yang berbeda akan tetap harus diupayakan untuk saling menguatkan.
Negara dan Agama, atau Politik dan Agama idealnya diperjuangkan untuk menggapai kepentingan mulia bagi warga negara yakni persatuan, kemanusiaan dan keadilan sosial.
Agama sejak lahir memiliki dalil demikian pula negara, didirikan dengan dalil (konstitusi).
Negara (Indonesia) tidak anti Agama, dan Agama juga tidak anti Negara, dan inilah Indonesia. Jika Negara dan Agama dihadap hadapkan potensi eksplosif antar kelompok cukup besar dan itu membahayakan warga negara dalam bernegara bahkan dalam beragama.
Dalam situasi ini, menurut hemat saya, masalahnya terdapat pada cara pandang dan sikap kita dalam beragama dan bernegara, yang dalam kondisi tertentu bisa berubah menjadi ekstrim (kiri/kanan). Potensi ekstrim ini mestinya dihindari meskipun mungkin akan ada banyak tantangan.
Dinamika politik yang kita saksikan ahir ahir ini, sering kali tidak lagi mengedukasi warga negara untuk berpikir sehat dan bersikap dewasa, ujaran kebencian dan narasi penolakan terhadap kelompok yang dianggap berbeda sangat tidak tepat dalam konteks indonesia, meskipun yang namanya dinamika politik akan selalu ada pro dan kontra.
Dengan melihat situasi yang ada, maka sangat penting bagi kita untuk tetap merawat segala bentuk perbedaan, untuk kepentingan kemaslahatan. Perbedaan sejatinya mendidik kita untuk mengerti bahwa Tuhan telah menghendaki semua ini, dan kita semua bisa bertemu pada satu titik yakni persatun Indonesia, kemanusiaan dan keadilan sosial bagi semua, dan ini halal baik dalam perspektif Agama maupun Negara.
Perbedaan yang diperdebatkan justru akan semakin menganga jika masih ada yang mempertajam sisi perbedaan, padahal konsep dan praktik bernegara dan beragama menurut saya sudah sangat tepat untuk Negara dengan penduduk semajemuk Indonesia.
Perbedaan ini, mustahil untuk kita seragamkan, tapi kita bisa bertemu sejajar dan setara dalam rumah yang telah dibangun oleh Negara yakni Pancasila beserta nilai nilai yang terkandung di dalamnya.
Semoga…. (Red).